Bentuk Zakat Masa Awal Islam

Standar

Bentuk Zakat Masa Awal Islam

Oleh Syahruddin Et-Fikri, Nidia Zuraya

Pada periode Makkah,zakat yang dikeluarkantidak dibatasi jumlahnya.

Sebagaimana ditegaskan, perintah atau kewajiban untuk mengeluarkan zakat bagi umat Islam mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Pada masa awal Islam (periode Makkah, sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah), banyak sekali ayat perintah berzakat. Namun, perintah-perintah itu belum diwajibkan di Madinah. Ada beberapa bentuk zakat yang pernah dilakukan pada periode-periode itu.

Bentuk zakat di Makkah

Orang yang berzakat akan senantiasa dipuji dan bagi yang tidak melaksanakan akan dicerca. Misalnya, dalam surah Ar-Rum [30] ayat 38, disebutkan, “Berilah para kerabat, fakir miskin, dan orang yang telantar dalam perjalanan hak masing-masing, yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah.”

Dalam surah Al-Anam [6] ayat 141, disebutkan, “Makanlah buahnya bila berbuah, keluarkanlah haknya pada hari memetik hasilnya, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Dari keterangan tersebut, zakat masih hanya sebatas memberi kepada fakir miskin tanpa ditentukan kadar (besar)-nya. Masyarakat Makkah ketika itu hanya diwajibkan mengeluarkan sebagian dari kekayaan yang mereka miliki.

Zakat pada periode Makkah ini merupakan zakat yang tidak terikat. Mengapa demikian, padahal perintah zakat sudah ada dalam Alquran? Menurut Yusuf al-Qaradhawi, zakat yang termaktub dalam surah-surah Makkiyah (turun di Makkah) tidaklah sama dengan zakat yang diwa- jibkan di Madinah. Sebab, nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, serta negara bertanggung jawab untuk mengelolanya.

“Zakat pada masa ini tidak ditentukan batasnya, tetapi diserahkan pada rasa iman dan kemu-rahan hati serta perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain,” jelas al-Qaradhawi dalam Fiqih Zakat.

Zakat di Madinah

Belum diperintahkannya secara tegas untuk berzakat bagi kaum Muslim di Makkah karena mereka baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi dalam menjalankan agama. Namun, kaum Muslim yang di Madinah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. “Karena itu, tanggung jawab mereka adalah mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan hukum yang berlaku,” kata Yusuf al-Qaradhawi.

Selain itu, ayat-ayat yang turun di Madinah telah menegaskan bahwa zakat itu hukumnya wajib dan ada ketentuan besarannya serta sanksi bagi yang melanggarnya.

Perintah diwajibkannya zakat termaktub dalam surah At-Taubah [9] ayat 103. “Ambillah sebagian harta mereka sebagai sedekah yang engkau pergunakan untuk membersihkan dan menyucikan mereka.”

“Pada harta kekayaan mereka melekat hak bagi fakir miskin yang sampai hati meminta dan yang tidak mau meminta.” (Adz-Dzariyat [51) 19).

Sebagaimana diketahui, pada periode Madinah, ada satu kisah yang mesti dijadikan pelajaran oleh umat Islam, yakni kisah Tsalabah. Dahulunya, Tsalabah adalah seseorang yang sangat miskin, tetapi dia rajin beribadah. Ia memohon agar Allah memberikan rezeki kepadanya.

Atas ketabahan dan kesabarannya, Rasul SAW akhirnya bermohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada Tsalabah. Maka, diberilah ia seekor kambing. Ia pun memelihara kambing-nya dengan baik hingga akhirnya terus bertambah banyak. Akibatnya, ia semakin jauh untuk mengingat Allah.

Ia pun diperintahkan oleh Rasul SAW untuk mengeluarkan zakat atas hewan ternak yang digembalakannya, namun ia menolak. Ia digolongkan sebagai orang munafik, yakni bila diberi kekayaan, mereka lupa mengingat Allah. Lihatlah penjelasan Sayyid Quthb tentang hal ini dalam kitabnya Tafsir Fi Zhilalil Quran.

Zakat dalam negara Islam

Saat wilayah Islam meluas, Rasul SAW mengutus sahabat-sahabat tepercaya untuk memimpin wilayah tersebut. Misalnya, di Yaman, Nabi Muhammad SAW mengutus Muadz bin Jabal sebagai gubernur.

Mereka diperintahkan untuk menjalankan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Karena itu pula, wilayah-wilayah yang menjadi taklukan kaum Muslim diwajibkan pula mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mematuhi aturan yang berlaku.

Zakat zaman Abu Bakar

Saat menjadi khalifah, Abu Bakar As-Shiddiq menjalankan roda pemerintahan sebagaimana tuntunan Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Karena itu, ketika terjadi gejolak, Abu Bakar tak segan-segan menindak pelakunya.

Salah satu persoalan besar yang dihadapinya ketika itu adalah orang-orang yang keluar dari Islam (riddah, murtad) dan orang-orang yang enggan menunaikan zakat. Atas kedua kelompok ini, Abu Bakar pun memerangi mereka.

Sebagaimana banyak diceritakan dalam sirah nabawiyah, seperti juga disebutkan dalam Hayatu Muhammad serta Abu Bakar as-Shiddiq karya Muhammad Husein Haykal, diterangkan bahwa ketika Rasul SAW wafat, banyak orang yang enggan mengeluarkan zakat. Menurut alasan mereka, zakat hanya diwajibkan saat Rasul SAW masih hidup.

Zakat zaman Umar bin Khattab

Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang tegas. Ia mewarisi negara yang jauh lebih aman dan kuat dibandingkan masa Abu Bakar. Karena itu, pada masa Umar, banyak sekali dilakukan inovasi dalam hukum Islam. Termasuk, sistem pengelolaan zakat.

Khalifah Umar bin Khattab mendirikan lembaga baitul mal, suatu lembaga yang mengurusi harta yang dikumpulkan dari orang-orang mampu dan sebagian dari harta rampasan perang (ghanimah). Harta yang dikumpulkan saat itu adalah hasil pertanian, zakat mal, hewan ternak, dan lainnya.

Bahkan, di zaman ini pula, Umar bin Khattab tidak mau lagi memberikan harta zakat kepada salah satu dari delapan golongan (ashnaf), yakni mualaf (orang yang baru masuk Islam). Dalam surah Attaubah [9] ayat 60, disebutkan bahwa orang yang berhak menerima zakat itu adalah fakir, miskin, ibnu sabil, orang yang berjuang di jalan Allah, orang yang berutang, amil, mualaf, dan orang yang memerdekakan budak.

Umar tidak memberikan zakat kepada mualaf karena ia menilai orang yang masuk Islam saat itu sebagian besar adalah orang yang kaya dan mampu. Di antara mereka itu adalah Suhail bin Amr, Aqra. bin Habis, dan Muawiyyah bin Abi Sufyan.

Zakat zaman Usman dan Ali

Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, dikeluarkan sebuah kebijakan yang pada intinya membolehkan pembayaran zakat harta melalui nilai uang. Artinya, total harta yang dimiliki disetarakan dengan uang, lalu diambil 2,5 persennya. Praktik serupa juga berlaku pada masa kekhalifa-han Ali bin Abi Thalib.

Ringkasan Artikel Ini
Bentuk zakat di Makkah Orang yang berzakat akan senantiasa dipuji dan bagi yang tidak melaksanakan akan dicerca. Misalnya, dalam surah Ar-Rum [30] ayat 38, disebutkan, “Berilah para kerabat, fakir miskin, dan orang yang telantar dalam perjalanan hak masing-masing, yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah.” Menurut Yusuf al-Qaradhawi, zakat yang termaktub dalam surah-surah Makkiyah (turun di Makkah) tidaklah sama dengan zakat yang diwa- jibkan di Madinah. Selain itu, ayat-ayat yang turun di Madinah telah menegaskan bahwa zakat itu hukumnya wajib dan ada ketentuan besarannya serta sanksi bagi yang melanggarnya. Karena itu pula, wilayah-wilayah yang menjadi taklukan kaum Muslim diwajibkan pula mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mematuhi aturan yang berlaku. Salah satu persoalan besar yang dihadapinya ketika itu adalah orang-orang yang keluar dari Islam (riddah, murtad) dan orang-orang yang enggan menunaikan zakat. Dalam surah Attaubah [9] ayat 60, disebutkan bahwa orang yang berhak menerima zakat itu adalah fakir, miskin, ibnu sabil, orang yang berjuang di jalan Allah, orang yang berutang, amil, mualaf, dan orang yang memerdekakan budak. Umar tidak memberikan zakat kepada mualaf karena ia menilai orang yang masuk Islam saat itu sebagian besar adalah orang yang kaya dan mampu.

Tinggalkan komentar